Penaja

1.1.00

Pasar Malam Kuala Terengganu (Kemala)

Julai 18, 2009

Ketawa jerih nenek tua
melengkungi detik
tembikai, keropok dan telur penyu
bersatu mengusik hatiku

gurau senda terkembang
menenuni waktu
harum selalu
di hatimu di hatiku

~ Kemala 1971


Antara Cirebon dan Demak ~ Kemala

Oktober 10, 2008

Ingin kugenggam garis horizontal diri
ingin kugenggam gerakgaris vertikal misteri.

Antara Cirebon dan Demak, yang meriak
zikir pantai landai, pasir dan ombak.

Kutak pohon busa palsu, kutak pohon
desah laut kehilangan lagu.

Antara Cirebon dan Demak
kutimang kesetiaan petani Berebes.

Mempamerkan seni mahirnya mengupasi bawang
bertingkat cantik, seni estetiknya menjentik hatiku.

Berebes dan kerling tajam wanita petani itu
dalam terendak berwarnawarni menyapaku.

KEMALA
Berebes, Pulau Jawa
Januari 2001
(ZIARAH TANAH KUDUP 2006:47)


Burung-burung Kudus ~ Kemala

September 17, 2008

Kudus Sunan Muria
kudus bulan langitku
kalbuku mengembang sayap.

Burung-burung Kudus
melayah ke Kota Kekasih
mengukuh diri.

Kicau burung-burung Kudus
tasbihnya birahi diri.

Garis gunung berbalam
Qutub, sudah berabad pejam.

Layahan burung-burung Kudus
kicau rawan
mencari kekasih yang hilang.

Kalau mendesau ombak
burungku mengembang kepak
bawakan jebak
Kekasih menghampar jubah
Sang Bulan mencumbu madah.

Nur Kudus di subuh Kudus
kerling Kudus kalbu Kudus
cumbu sahih al-Khaliqi.

Lagu burung-burung Kudus
dari langit jauh
lagu murni perawan kencana
betahkah diri betahkah bulan putih
lagu nestapa tersibak luka.

Sembarani hutan
menggerinyang indah
di mana ya peta benua
ada mata maut
menyapa.

Kudus kudekap rawan
tasbih dan birahi
berantaian.

Kemala
Kudus, Jawa
Januari 2001

(ZIARAH TANAH KUDUP 2006:36-37)


Alif Kepada Alif ~ Kemala

September 10, 2008

Berapa kelok ombak, berapa gemulung gelombang,
berapa busa buih, berapa
sayap kasih, betapa ketimbang angin, betapa
rangsangan ribut, betapa
songsang badai, betapa amuk taufan, memancar cahaya,
gementar wajah, geletar mega.

Kalau tak awan, semilang cahaya, kalau tak
harapan, simpang pujangga, kalau
tak kemudi hari, siurluncur perahu. Di hadapan
sinar, cinta yang benar, di
muka ingkar, tingkah yang nanar. Kalau tak taqwa,
hanya helah yang pingkar.

Tasbih apa dari tarian padi di sawah? Ratib
apa dari pucuk pisang di
ladang? Siang ilalng, malam Sang Keluang. Ombak
lagunya, tingkah
lengkingnya. Kalau tak reda, apakah rindu dapat
menggagas mutu?

Bagaimana tarian rumpun bambu? Gerisik
asyiknya, gemersik buluh perindu
akur dengan wujud rohaniah, hanya dengan bisik dalam
tergetar kata, tafakur detik bagai pohon pagi
mengenal embun jernih. Cumbulah Daku.

KEMALA
Januari 2000
(ZIARAH TANAH KUDUP 2006:31-32)


Kuteguk ~ Kemala

Jun 30, 2008

Kuteguk madu estetikmu
metafora puitis di alis
bulan putih
keluhmu hangat abadi

puisipuisi luka
di langit terbuka

kuteguk madu estetikmu
kekupu–mawar bersatu
manatah ghairah itu?

“dalam cumbu
yang ungu!”

ada kilau
mengilau

“dalam bait
menghablur rindu!”

KEMALA
Jakarta Juli 2007


Demak ~ Kemala

Jun 26, 2008

D E M A K 1

Empulur darahku
Memerciki syahadah Salik
Arasy putih menjaring rindu

Demak, Pulau Jawa
Januari 2001

D E M A K 1 1

Cinta terbersit
Ghairah menyilangi pelangi
Qutub dalam usapanmu

Demak, Pulau Jawa
11 Januari 2001

D E M A K 1 1 1

Subuh gerimis
Tasbih burung di sangkar emas
Menghiris nurani

Demak, Pulau Jawa
Januari 2001


Kasyaf Danau ~ Kemala

Jun 20, 2008

Kupinjami matamu untuk menatap sisisegi rohaniahku. Menatap puing
budi, puing kasih yang tersimpang entah ke mana, menatap zarah
kejadian lagi ajaib, kupinjami kedip nafas dan erangakrab yang
menjulurkan makna hidup, kupinjami riak dan kecipak sirip bawal putih
yang menolak muslihat sedetik, akal jahat manusia, karang berbungkus
lumut hijau, krikil tajam yang tersembunyi. Wah, mustika mimpi yang
kangen pada Putri Duyung. Dapatkah kau membalut nestapa yang
tersangkut pada suara gemetar halus puisi pandak di malam itu hingga
kubawa langsung dalam pulas tidur kembara. Kupinjami kehalusan
watak, kemesraan janji, kemestian diri, keayuan seloka, maka aku
melihat diriku di segenap lapangan dan ruang. Adakah ini Kerajaan Air
yang tak pernah kulalui? “Kau menggumam diriku atau maknaku?” “Kau
menatap takjub diri atau reda diri?” Maka kupinjami adab yang kucumbu
dari tegur pertama, dari sapaan pengelana. “Adakah jalan yang tak
terintis?” Maka kau berpergian jua? “Adakah waham di tengah Majlis?”
Maka kau kehilangan kasih? Kupinjami suara mersik bagi menafsir
Hikayat dan pantun para leluhur. Negeri kita di sekitar danau ini,
negeri kita yang takpernah kita pinggirkan walau seliang roma,
kupinjami sikap kesayanganmu pada kesenian kata. “Aku terpikat dengan
amsal dan kias!” Rindu Danau pada penyair yang pulang ke desanya
setelah jauh memapasi
langit. Rindu penyair terhadap danaunya selepas danau sekian waktu
tergigil sepi. “Aku hamparkan seluruh kedanauanku untukmu! Dan,
sudahkah kau kecapi keindahanku?” Inilah cahaya yang datang waktu
hampir litup dadaku.
Akulah Danau yang menatap Danaumu. Dalam rindu dan tunduk tersipu.

KEMALA
Danau Maninjau, Indonesia 2003
(ZIARAH TANAH KUDUP 2006:102)


Dari Benua Cinta Penyair ~ Kemala

Mei 27, 2008

Dari benua cinta penyair
ke tanah bertuah bangsa
selepas setengah abad
mencecapi makna merdeka

1
Dari Benua Cinta penyair kujelang Tanah Bertuah Bangsa
Kuendapkan kelezatan maknawi mencecapi setengah abad

merdeka.
Merdeka hakiki, merdeka hayati, merdeka batini, merdeka

kecubung
Mimpi berpalang, belenggu keroyokan asing
Empat-setengah abad. Kami adalah bulan putih, matahari
Bersinar membinari hidup. Kami adalah
Kedaulatan pertama. Ilahi merestui dan mematrai
Selaksa gurindam, bergugusgugus doa kudus.
Dari Benua Cinta Penyair
Ke Tanah Bertuah bangsa. Kami membaca
Hikayat Delima Derita
Dengan liangliang sukma kami
Dibantai pelurupeluru bandit.
Kami menempeli lembaran yang robek dimakan bubuk
Dan anaianai. Merbau dan Kruing, Nibung dan Petaling
Kami pikul dari belantara gelap kini tertancap di dadamu
Seribu tiang seri Rumah Warisan
Monumen Keprihalan pahlawanpahlawan kecil
Tak bernama, hilang tak kembali di malam kemerdekaan
Yang gerimis. Ada desis mendesis tiba,” Kami hilang tapi
Roh kami tetap mengusap tiap jalur, bulanbintang panjipanji
Itu tubuh, darah dan kalbu kami. Kami gugur
Demi maruah pribumi dan daulah para leluhur!”

II

Selepas setengah abad terdampar, di hadapan kalian kini
Limapuluh album lusuh. Tangan mulus srikandi mana
Bakal mengelus dan menyeka debudebu musim
Menyusun, mengitar, mengawet potret tua pada sudut
Album baru yang sahih. Ada yang kelabu, ada yang

tercetaicetai
Terperangah dicakar serigala lapar. Ada kebenaran yang
Tetindih dan ada sukma wangi dihunjami tangkulak.
Aduh, dimanakah Jiwa anggun dahulu, Kekasihku?
Aku menerjang ke malammalam sepi yang panjang.
Aku menggali wilayah karang tajam di dasar laut dalam
Ini pancaroba. Ini kerikil tasbih ditampar taufan.
Rindu apakah ini Kekasihku? Qasidah tajalli benangnya
Rohani. Nasyid dan Ghazal, Seloka dan Pantun
Bersatu dengan dendam berkurun. “Kembalikan Diri
Yang terpenjara, dicambuk mungkar Karun
Sebelum padam api kemerdekaan anggun!
Dari Benua Cinta Penyair, ke Tanah Bertuah Bangsa
Selepas mencecapi Makna Merdeka
Angin tanah air berkesiur, “Ini kemerdekaan,
Ini kunci iman, Rindu Keanggunan, bara hasrat
Yang kugenggam dari binar tujuh cakrawala,
Bak Cinta kasmaran menembusi tujuh lapis bumi
Lalu kucanai Kunci Firasat, Kunci Makrifat
Kunci Hakiki,
Kunci Kasih
Kunci Rohani!

KEMALA
Kuala Lumpur, 10 Mac 2007
( DEWAN BUDAYA Mei 2007 )


Selamat Malam Bandung ~ Kemala

Mei 21, 2008

(untuk ken dan rendra)

Antara romantisme gunung
dan hiruk pikuk trafikmu
puisi dilontar dan dihantar ke podium
di melenium inipun
rahwana menggerogoti sinta
dan rama meruap api cemburunya

Tembang demi tembang
penyair ingin keluar dari sarung leluhurnya,
menjeritkan
‘kami bukan si malin kundang’
menolak ragu dan sesal
kami adalah syurga dan neraka sekaligus
tepuk dan bujuk
asyik yang bermata sepuluh

Kutatap lembah suburbia
singgah singkat di galeri salasar dan popo
garis, pecahan kaca atau wanita telanjang
warna abstraksi dan galauan
dan siratan magisme, kecapi ottih
“negeri abadi” dan tatapan
para leluhur menenggang duka
patah kendali. bandung yang sesak
hijau, hijau alpokat, jeruk dan salak
angkot ribut mendesakdesak
sayup sampai, pluit kereta api singgah dari jakarta
atau yang tadi dari surabaya, mata yang layu, tangan
yang jenuh
kelapa muda dan farid maulana
meramu jeans levis strauss
buku puisi, mukena dan jerembab kembang
mimpi sulit datang, meremang liar, souveniers
puisi dan penyair, metafora magistik
bergantungan di langit.

Selamat malam bandung
azan dari masjid firdaus
serap seni, daif diri, bangkrut budaya
huyung-hayang bulan tak bersari
jeriji maut dan angin bangkit abad
tanah yang dilelang, seringai paman doblang
di kuburnya, petani gaduh merana dan lusuh
para dewa menggewangi ladang rampokannya.

Dari titik ke titik
dapatkah puisi merambah duka maha insani
antara tidak apa-apa, nol dari fungsi
suara menopang telatah. desis dan bisik
‘tidak apa-apa’ kita adalah kekosongan dan
kekosongan itu kita!
heran, kata-kata hilang magisme
dia masih terus menulis dan sedia
untuk tidak apa-apa
walhal seni memertabat insani
bulan putih, violet yang diturunkan
tuhan dari syurga kekuasaanNya
selamat malam bandung
kota kembang tak jemu-jemu bersenandung.

KEMALA
Bandung-Jakarta
April 2002
(Ziarah Tanah Kudup 2006:82-83)


Dalam Isyarat ~ Kemala

April 10, 2008

Laut tak berombak
Ombak tak beriak
Camar tak melayang
Mata tak berkedip
Dada tak berdebar
Daun tak gugur
Dada tak terdepang
Lembar puisi tak terselak
Salam tak bersambut
Getaran tak menggelombang
Kasih tak berkocak
Janji tak tertunai
Helah tak tergambar
Muslihat tak terpeta
Kitab puisi tergeletak
Penyair patah kalam
Kata tak kenal pilih
Antah dalam beras
Padi terkulai lemas
Aruan tak menghambur
Ular berlingkar di lubuk
Undan kematian angin
Jejak lama tak padam-padam
Dalam rupa di mana dupa
Geruh apa dalam guruh
Sukma sebuah bertatah cinta
Rumah pertama takmenemu
Ombak tak berombak
Riak tak beriak
Gairah padam
Meluluh waham.

Kemala
2006-2007