Penaja

4.2.12

Empat Puluh Tahun Bersama Ayah


oleh Dato' Profesor Dr. Hashim Yaacob

Empat puluh tahun bersama dulu
aku terlahir
ke dalam keluarga daif
yang terwaris turun temurun.
Ayah sering memikir
apakah anaknya itu
akan terus mewarisi
kejerihan hidup sepertinya juga?

Tiga puluh tahun dulu
usiaku baru sepuluh
dan ayah masih muda belia,
berkata ayah
di kebun getah Bukit Kepat:
jika ingin hidup sempurna
dan menjadi manusia berguna,
tidak menoreh getah sepertinya
dan seluruh keluarganya sepanjang masa,
kau harus tekun belajar
hingga sampau ke Universiti.

Budak kampung di usia itu seperti aku
mengerti apa hal universiti?
Ayah hanya tahu
Universiti itu adalah tempat berkumpul
cerdik pandai dan manusia berguna

Dua puluh tahun dulu
aku pun menjejak kaki di kampus Universiti
sebagai pelajar
yang kononnya cerdik lagi pandai.
Ayah yang masih menoreh getah
lapang hatinya tiada terkira.
Tertepa di kepalanya satu harapan.
Katanya ia selalu mengirim doa
agar kulekas jadi orang berguna.

Lima belas tahun dulu
sampailah berita pada ayah
yang aku sudah lulus jadi doktor.
Ayah yang masih lagi menoreh getah
sujud syukur pada Ilahi.
Tahulah ayah
yang anaknya tidak perlu lagi
ikut jejaknya menorah getah.
Nampaknya ayahnya sungguh bangga
kerana pandai mendidik anak.

Lima tahun dulu
ketika aku diangkat menjadi profesor
ayahpun membungkus mata pisau torehnya
dengan secebis kain semutar.
Lalu disangkutnya pisau
pada paku di dinding dapur.

Ayah mengucap selamat tinggal
pada kebun getah
mungkin untuk selamanya.

Kelmarin
aku ziarahi ayah yang sudah tua.
Di dapur
kami menatap bersama
pisau toreh di dinding yang kaya jasa
yang masih berkelubung mata
dengan kain semutar ayah.

Kucium tangan ayah
dengan hujan
yang turun dari kelopak mataku.

Air Penawar Sekacang Kelat Furada Publishing House 1993.